TUGAS MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SUMBER-SUMBER HUKUM AGAMA ISLAM II
Dosen Pengampu :
NANA SUYONO, S.Pd. I., M. Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 7
⦁ Muhammad Rijal Mulyansah : 201644500069
⦁ Dimas Fajar Julianto : 201644500070
FAKULTAS TEKNIK, MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sumber-Sumber Hukum Dalam Islam ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Nana Suyana selaku Dosen mata kuliah Pendidikan Agama IslamUNINDRA yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Jakarta, September 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Judul...........................................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................1
Daftar Isi....................................................................................................................2
BAB I
Sumber-Sumber Hukum Dalam Islam....................................................3
⦁ Pendahuluan………………………………………………….....3
⦁ Ijtihad...........................................................................................3
BAB II
Sumber Hukum Sekunder……………………………………………..6
⦁ Qaul Shahabi…………………………………………………....6
B. Syar’u Man Qoblana…………………………………………….7
C. Al-Istishab………………………………………………….……7
D. Al-urf………………………………………………………….…7
E. Al-Istihsan………………………………………………….……8
F. Sadduz-Zariah……………………………………………………8
G. Al-Maslahatul Mursalah…………………………………………9
BAB III
Penutup
Kesimpulan........................................................................................10
Saran...................................................................................................10
Daftar Pustaka.................................................................
BAB I
SUMBER-SUMBER HUKUM DALAM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
⦁
mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
⦁
memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
⦁
mengetahui soal-soal ijma
⦁
menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
⦁
Dasar (dalil)
⦁
Masalah yang akan diqiyaskan
⦁
Hukum yang terdapat pada dalil
⦁
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
⦁
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
⦁
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
⦁
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
⦁
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
⦁
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
⦁
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
BAB II
SUMBER HUKUM SEKUNDER
Sebagaimana di singgung di atas, bahwa selain sumber hokum primer, islam memiliki perangkat sumber hokum sekunder. Tentunya terminology ini bukan berarti pemaknaannya menjadi semacam kebutuhan ekonomi, yang di kenal ada kebutuhan primer, sekunder, dan tersier, namun hal ini hanya meminjam istilah dan menunjukan stratifikasi (tingkatan) kehujjahan sumber hokum yang ada di dalam hokum islam.
Selain itu kentalnya para pakar ushul-fiqh dalam penggalian sumber hukum islam bukan berarti pembahasan ini fiqh oriented. Sebab, diantara fiqh dan ushul fiqh sangat berbeda, adapun diantara argumentasi/alasan kentalnya nuansa ushul fiqh dalam penggalian sumber hukum di atas, sebab dalam disiplin ilmu inilah kajian dalam sumber hukum islam melembaga dan berkembang dari tiap zaman.
Untuk lebih mensistematiskan pembahasan sumber hukum sekudner, penulis akan mengikuti pola yang dikembangkan oleh Khalid Rhamadan Hasan (1998) dalam kitabnya, Mu’jam Ushul Fiqh sebagai berikut :
A. Qaul Shahabi
Qaul shahabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu hukum di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”. Maksudnya adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang di nukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.[1] Jadi, qaul al-shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya tidak terdapat pada nash.
Yang dimaksud dengan sahabat menurut para ulama ushul fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup dalam waktu yang panjang.[2] Menurut Muhammad Ajjaj Khatib, sahabat adalah setiap orang Islam yang hidup bergaul dengan nabi saw. dalam waktu cukup lama dan menimba ilmu darinya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Umar.[3]
Menurut pandangan Imam Syafi’i, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah.[4]
Qaul sahabi berbeda dengan ijma’ sahabi yang mempunyai kedudukan yang kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujjahannya yang diterima semua ahli ushul fiqh. Ijma’ sahabi adalah hasil kesepakatan bersama tentang hukum
B. Syar’u Man Qoblana
Pengertian Syar’u man QablanaSyar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan ajaran-ajaran yang berleku pada para nabi ‘alaihin ash –shalat wa-salam sebelum nabi Muhammad SAW. Diutus menjadi rasul seperti syari’at nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa, dan nabi Isa.
Para ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at nabi muhammad.
Para ulama berbeda pendapat tentang syar’u man qablana terutama ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, sebagian ulama syafiyah, dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syar’u man qabana berlaku pada umat islam, jika syari’at tersebut diinformasikan melalui rasullullah SAW bukan terdapat dalam kitab-kitab suci mereka yang telah mengalami dan tidak terdapat nash syara’ yang membantahnya
C. Al-Ishtishab
Istishab menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, ia adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau ia adalah menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
D. Al-Urf
Urf secara sederhana berarti adat atau tradisi. Namun, sebagian ulama ushul tidak menganggapnya demikian. Oleh karena itu, mereka mendefinisikannya sebagai kebiasaan mayoritas masyarakat dalam perkataan atau perbuatan tertentu. (az-Zarq, 1968: 840).
Sedangkan dalam prespektif Wahab Khalaf antara adat dan tradisi keduanya dianggap sama, hal penting yang harus dicatat dalam kasus urf ini adalah jenisnya, para ulama membagi urf (tradisi) menjadi dua, ‘Urf shahih atau tradisi yang baik dan ‘urf fasid atau tradisi yang buruk yang bertolak belaka dengan ketentuan syara’ Sudah barang tentu konteks sumber hukum yang dapat dijadikan hujjah adalah katagori yang pertama (1968:89).
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara’. Seperti ulama malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pala ulama hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah, Imam Syafi’I terkenal denga qaul qadim dan qaul jadidnya.
E. Al-Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf.
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
Artinya : “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.”
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
– Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
– Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
F. Sadduz-Zariah
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ahadalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan(mafsadah),namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan(mafsadah),maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ahadalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat,asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz)agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ahadalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
G. Al-Maslahatul-Mursalah
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan maslahah mursalah, diantaranya :
DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul Al- Fiqh Al-Islami mendefinisikan Istishlah atau maslahah mursalah sebagai berikut :
“ sifat sifat yang selaras dengan tindakan dan tujuan tasyri' tetapi tidak ditemukan dalil khusus yang mensyari'atkanya atau membatalkannya, dan dari perhubungan hukum dengan sifat tersebut maka akan tercapai kemaslahatan dan bisa menolak kerusakan pada manusia .
Dr Abdul Wahab Kholaf mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
Suatu kemaslahatan dimana Syari' tidak mensyari'atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuan atau pembatalanya.
Imam Ghozali dalam kitab Al-Mustasfa mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
“apa apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya”.
Imam Ar-Rozi Dalam kitab Al-Mahshul menyebutkan bahwa maslahah mursalah adalah
“maslahah yang tidak ada bukti nash tertentu yang membatalkanya dan tidak pula memperhatikanya”.
Imam Asy-Syaukani didalam kitabnya Irsyad al-Fuhul mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
“maslahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau memperhitungkanya”.
Imam Amudi dalam kitabnya Al-Ahkam li Amudi mendefinsikan maslahah mursalah sebagai berikut,
“maslahah yang tidak ada petunjuk syara’ yang memperhatikan atau membatalkanya”.
Imam Abdul Muhsin mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut
“maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuaan syara’ tentang pensyari’atanya atau pengilghoanya (tidak disyari’atkan), maslahah mursalah adalah perantara untuk merealisasikan sesuatu yang disyari’atkan”.
BAB II
Kesimpulan
Sebagai umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang harus kita pedomani.
Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
-Pendidikan Agama Islam (sitinuralfiah.wordpress.com) “https://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-islam/”
-H.M.Arifin,M.Pd.i, dkk.september2015.pendidikan agama islam.jakarta selatan.UNINDRAPRESS
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab - Sumber Hukum Islam @quraish shihab) youtube : 9-juni-2015